Mengenai Saya

Foto saya
Amlapura, Bali, Indonesia
Pegawai Pemda Karangasem

Selasa, 19 April 2011

Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan

Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan

Setiap 25 Nopember diperingati sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Dalam satu dekade ini muncul paradigma baru untuk mengajak “pihak lawan” (kaum laki-laki) mengakhiri tindak kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dipicu asumsi, ternyata laki-laki bukan saja pelaku, tetapi bisa juga korban kekerasan.
Asumsi tersebut menjadi latar belakang pelibatan laki-laki sebagai mitra perempuan untuk mengakhiri tindak kekerasan terhadap perempuan. Itulah tujuan utama konferensi bertajuk “Men as Partners to End Violence Against Women”, yang diadakan Unifem untuk memperingati   Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di Thailand 2007 lalu.
Ada dua pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini. Pertama, laki-laki bisa diajak berpartisipasi membicarakan masalah yang mungkin berkaitan dengan diri mereka,dan mereka merupakan aliansi potensial untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Penghapusan kekerasan terhadap perempuan bukanlah agenda eksklusif milik perempuan saja, tetapi milik kaum lelaki juga. Kedua, perubahan cara pandang terhadap peran laki-laki yang selama ini diidentifikasi sebagai sumber masalah kekerasan (problem maker) terhadap perempuan, menjadi pihak yang bisa  menjadi pemecah masalah (problem solver).
Posisi laki-laki dalam tindak kekerasan terhadap perempuan itu dilematis. Sebagai korban tindak kekerasan mereka dipengaruhi oleh nilai sosial dan budaya masyarakatnya. Sebagai pelaku, karena kekuasaan dan kekuatan yang mereka miliki, dengan sadar melakukan tindak kekerasan. Tindak kekerasan dengan kesadaran ini harus diperangi, bukan dengan mengasingkan mereka, tetapi mengajak berbicara dan berunding. Pengasingan justru mengakibatkan intensifikasi tindak kekerasan dari pihak laki-laki semakin bertambah.
Keterlibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan bukannya tidak menimbulkan persoalan baru. Pertama, masih ada asumsi di kalangan perempuan, laki-laki sebagai pelaku tindak kekerasan bukan disebabkan oleh bentuk sosial dan budaya, tetapi lebih dise-babkan karena mereka secara fisik adalah laki-laki sebagaimana pandangan feminis radikal.
Kedua, keterlibatan laki-laki dipandang sebagai bentuk ancaman baru bagi eksistensi perempuan, sebagai upaya ekspansi laki-laki dalam wilayah lebih luas. Pandangan ini bisa dimaklumi mengingat hegemoni ideologi patriarki sudah sangat mapan dan mengakar sehingga dikhawatirkan tidak dapat diubah sama sekali. Kecurigaan seperti itu bisa diakhiri apabila ada kesepakatan keterlibatan laki-laki bukan untuk menguatkan dominasi dan superioritas mereka, tetapi sebagai pendukung dan mitra utama
kelompok perempuan. Kesepakatan perlu dibuat mengingat cara pandang itu juga diidap lebih ba-nyak oleh laki-laki. Harus ada pemahaman kepada mereka, keterlibatan mereka adalah bagian penyelesaian masalah karena mereka salah satu sumber masalah terbesar. Jadi, keterlibatan laki-laki bukan hanya menolong perempuan, tetapi juga untuk menolong mereka agar tidak terlalu lama menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan.
Pandangan Hukum Indonesia Terhadap Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Pasal 1, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993).
Masalah utama yang berkaitan dengan hukum berpusat pada tidak adanya hukum yang secara khusus memberikan perlindungan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut.
Bahkan istilah “kekerasan terhadap perempuan” tidak dikenal dalam hukum Indonesia, meski fakta kasus ini marak terungkap di berbagai penjuru Indonesia. Dalam KUHP yang ada saat ini, sebagian kasus-kasus yang tergolong kekerasan terhadap perempuan memang dapat dijaring dengan pasal-pasal kejahatan namun terbatas pada tindak pidana umum (korban laki-laki atau perempuan) seperti: kesusilaan, perkosaan, penganiayaan, pembunuhan dan lain-lain. Tindak pidana ini dirumuskan dalam pengertian sempit (terbatas sekali), meskipun ada pemberatan pidana (sanksi hukuman) bila perbuatan tersebut dilakukan dalam hubungan keluarga seperti terhadap ibu,istri dan anak.
Tindakan kekerasan terhadap isteri adalah tindakan pidana.Hal tersebut telah diatur dalam pasal 351 jo 356 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu kesimpulan dari pasal-pasal ini adalah, bila penganiayaan dilakukan terhadap keluarga dekat/orang yang seharusnya dilindungi, maka hukumannya ditambah sepertiga dari jumlah hukuman apabila peng-aniayaan dilakukan terhadap orang lain. Selain itu, dalam kasus isteri (perempuan) di bawah umur (16 tahun), maka apabila laki-laki (suaminya) menyebabkan luka-luka dalam proses hubungan seksual maka si suami bisa didakwa melanggar pasal 288 KUHP.
Bentuk lain kekerasan terhadap perempuan adalah pelecehan seksual. Tidak ada perundangan yang khusus mengatur pelecehan seksual.Tapi dalam KUHP ada ketentuan tentang “perbuatan cabul”, yang pengertiannya adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang terjadi di lingkungan nafsu birahi kelamin.
Sejak tahun 1994 PBB membentuk Badan Pelapor Khusus tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, dilaporkan bahwa setengah dari penduduk dunia yang berjenis kelamin perempuan pernah mengalami kekerasan fisik. Karena itu tanggal 25 November sampai 10 Desember (sebagai hari HAM) dijadikan momen untuk mempromosikan Anti Kekerasan terhadap
Perempuan. Perjuangan berbagai pihak (di Indonesia) untuk mengangkat kekerasan dalam rumah tangga sebagai tindak kriminal memakan waktu lebih 10 tahun dan akhirnya disahkan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada 2 September 2004.
Dalam Pasal 1 UU Penghapusan KDRT disebutkan, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
(Dulu) jika seorang laki-laki memukuli perempuan di pinggir jalan atau di tempat umum, dan polisi melihat perbuatan tersebut dengan segera polisi menangkap si pelaku dan menuntutnya sebagai pelaku kriminal. Sampai sekarang polisi masih melakukannya. Tetapi apabila seorang perempuan (isteri) dipukuli laki-laki (suaminya) di dalam rumah, dan dia berinisiatif melapor ke polisi, belum tentu semudah itu polisi menyeret si pelaku sebagai seorang kriminal. Diperlukan waktu yang panjang untuk sampai pada kesimpulan bahwa perbuatan itu melanggar hukum bahkan aparat penegak hukum menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan pribadi yang tidak pantas untuk dibuka di muka umum apalagi dibawa ke pengadilan.
Motivasi yang mendorong laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan dilandasi pemikiran yang keliru bahwa sebagai suami adalah wajar apabila ia memukuli istrinya. Diapercaya bahwa tindakan itu adalah “untuk mendidik” istrinya.Padahal setelah ditelusuri tindakan tersebut adalah akibat ketimpangan relasi sosial,dimana si suami ingin menyatakan bahwa “kekuasaan ada pada dirinya”. Disini jelas bahwa perempuan mengalami kekerasan karena dia perempuan yang tak berdaya atas dirinya. Karena itu kekerasan semacam ini disebut juga sebagai “Kekerasan Berbasis Gender”.
Perbedaan jenis kelamin telah melahirkan kekuasaan yang sangat besar terhadap laki-laki sehingga ia berlaku semena-mena terhadap perempuan. Kelahiran merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Jenis kelamin adalah sesuatu yang terberi (given) bukan pilihan (choice). Seorang manusia tidak dapat memilih jenis kelamin apakah dia ingin dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki. Karena itu adalah suatu perbuatan yang melanggar martabat manusia bila laki-laki merasa lebih kuat, lebih hebat, lebih berkuasa dari perempuan. Dan dengan anggapan seperti itu dia melakukan hal-hal yang diluar kontrol dan menyakiti istrinya. Pemikiran dan sikap (mind-set) yang menganggap perempuan sebagai warga kelas dua, warga lemah, tak berdaya, pantas dipermainkan, akan muncul dalam tingkah laku laki-laki sehari-hari dengan memperlakukan perempuan bukan sebagai mitra dalam rumah tangga tetapi sebagai sub-ordinat (bawahan laki-laki).Jangan heran kalau sering muncul kata-kata “kamu perempuan tau apa?”
Rentan Perlakuan Kekerasan
Karena itu hidup bermasyarakat dengan gender perempuan rentan terhadap berbagai macam tindakan dan perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh gender laki-laki dan bisa terjadi dimana saja di rumah, di sekolah, dalam pekerjaan maupun dalam pergaulan sehari-hari pada bangsa dan suku apapun.Tentu saja kekerasan terhadap perempuan sangat bervariasi mulai dari ejekan, pelecehan, hinaan halus sampai pada luka fisik dan luka batin.
Masyarakat dunia menyadari hal tersebut dan berjuang agar kekerasan dalam rumah tangga muncul ke permukaan dan diakui sebagai tindak kriminal, bukan masalah domestik yang hanya selesai secara kekeluargaan. Majelis Umum PBB dalam sidang 18 Desember 1979 telah menyetujui Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) disingkat CEDAW, kemudian pemerintah Indonesia menandatangani Konvensi tersebut 29 Juli 1980 ketika diadakan Konferensi Sedunia Dasa Warsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi wanita di Kopen-hagen.
Penegakan hukum saja tidak cukup untuk menangani kekerasan dalam rumah tangga, karena penguatan kapasitas institusi serta pemberdayaan masyarakat merupakan hal yang juga sangat penting. Jaringan anti KDRT perlu dibentuk di desa/kelurahan, maka gerakan PKK dan Pos-yandu akan menjadi garda terdepan untuk itu. Peran tokoh agama dan masyarakat juga sangat penting dalam mengubah paradigma maskulinitas keliru yang dianut sebagian laki-laki. Jadi ma-salah kekerasan terhadap perempuan bukanlah masalah milik kaum perempuan saja tetapi milik bersama untuk mencari jalan pencegahannya.***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan,e-mail : fadila75@yahoo.com

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates