Mengenai Saya

Foto saya
Amlapura, Bali, Indonesia
Pegawai Pemda Karangasem

Minggu, 10 April 2011

Memilih Informasi

Antara Bantuan & Beban

Kita semua pasti sudah sadar bahwa saat ini kita berada dalam era informasi. Informasi telah menjadi "pengendali" kehidupan kita (personal & sosial). Orang, (individu / kelompok), bisa mendadak sedih atau gembira, marah atau senang, kecewa atau bahagia atas informasi yang diterimanya.

Bahkan, dalam banyak kasus, informasi telah ikut andil dalam menciptakan jalan hidup seseorang. Jalan hidup seseorang bisa menjadi lebih luas atau lebih beragam karena informasi yang dimilikinya. Sebaliknya, jalan hidup seseorang bisa menjadi semakin sempit  karena informasinya juga.

Misalnya saja  kita ingin melamar pekerjaan tertentu atau ingin mencari peluang usaha tertentu. Jika informasi yang kita miliki itu luas, banyak, akurat, komplit, maka pandangan dan langkah kita pun luas. Karena itu ada yang mengatakan, peluang kemajuan kita  itu terkait dengan lingkaran orang-orang yang kita masuki. Kalau kita berada di tengah-tengah lingkaran orang-orang yang miskin informasi, maka peluang yang kita dapatkan pun terbatas.

Secara teori, informasi ini berbeda dengan data atau pengetahuan (knowledge). Informasi adalah data yang sudah diolah menjadi sebuah bentuk yang berguna bagi penerima. Hubungan informasi dengan data itu sama seperti beras dan nasi. Beras adalah data, sedangkan nasi adalah informasi. Informasi ini memiliki ciri-ciri, antara lain: a) benar-salah, b) baru c) tambahan, d) koreksi, e) penegas.

Dalam prakteknya, peranan informasi itu mirip seperti pisau. Satu sisi, informasi dapat membantu kelancaran hidup kita. Tetapi di sisi lain, informasi bisa malah menjadi beban hidup kita. Tentu ini bukan karena informasinya, melainkan pengelolaannya. Artinya, informasi akan membantu kalau dikelola. Sebaliknya, informasi akan membebani otak kita kalau tidak dikelola. Pengelolaan ini mencakup seleksi dan penggunaan.

Karena itu, ada istilah umum yang disebut "burden of information". Istilah ini menggambarkan bahwa ada sejumlah orang / kelompok yang justru terbebani oleh informasi. Banyak informasi yang masuk ke mereka, tetapi belum banyak hal yang bisa  dilakukan dari informasi itu.

Contoh yang paling nyata itu email. Kalau kita mendapatkan email yang relevansinya terlalu jauh dengan kebutuhan kita, dan itu jumlahnya terlalu banyak, maka bisa-bisa kita termasuk orang yang terbebani informasi itu. Selain kita perlu   mengeluarkan biaya untuk mengakses email, perlu waktu, dan kita pun tidak mendapatkan pengetahuan yang berguna atau tidak mendapatkan sesuatu yang bisa kita lakukan.

Karena itu, menurut Prof. Stenberg, salah satu ukuran pokok dalam kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan, memilih dan memilah informasi. Informasi yang akurat akan membuat kita menjadi lebih cerdas. Informasi terpilih (seleksi) akan membuat kita lebih cerdas. Informasi yang penting akan membuat kita lebih cerdas. Kira-kira begitu gambarannya.

Mengukur Kompetensi
Kalau melihat penjelasan Lyle M. Spencer, Jr., PhD dan Signe M. Spencer (1993), ternyata kemampuan mendapatkan / memilih / menggunakan informasi itu termasuk kompetensi kunci di tempat kerja. Dikatakan kompetensi berarti kemampuan itu menjadi karakteristik dasar yang dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja bagus / unggul (superior performance).

Konon, Henry Ford termasuk pengusaha yang punya kompetensi tinggi di bidang ini.  Apapun yang ia butuhkan untuk menjalankan roda usahanya, ia punya sumber informasi yang bagus. Bahkan kalau menyimak petuah dari Musashi, tokoh Samurai, informasi termasuk senjata penting bagi seorang jagoan. Katanya,  "Jagoan itu senantiasa belajar bagaimana menggunakan potensi manusia (diri sendiri & orang lain), belajar menggunakan materi (properti dan informasi), dan belajar bagaimana menggunakan senjata (teknologi) untuk mendapatkan power, profit, dan prestasi".

Sekedar sebagai acuan apakah kita termasuk orang yang punya kompetensi bagus di sini atau tidak, di bawah ini ada penjelasan yang bisa kita gunakan untuk mengukur diri (self-measurement). Penjelasannnya kira-kira seperti di bawah ini.

Jika kita tidak pernah / jarang mencari informasi selain yang sudah ada di tempat kerja, berarti skala kompetensi kita di sini masih nol (0). Kita masih menjadi orang yang "apa adanya" dalam arti "low mentality".

Jika kita sudah berusaha mencari / menemukan informasi yang kita butuhkan kepada orang yang tepat (sumber informasi) sebagai dasar untuk mengambil keputusan, maka kompetensi kita di sini adalah satu (1).

Jika kita sudah melakukan penelusuran, baik itu dengan membaca literatur, media atau melakukan observasi lapangan guna mendapatkan informasi yang lebih bagus, maka kompetensi kita adalah dua (2).

Jika kita sudah terbiasa menggali lebih dalam informasi yang ada, maka skala kita di sini adalah tiga (3). Kita mengajukan serangkaian pertanyaan untuk mencari akar permasalahan atau latar belakang dari sebuah situasi atau keadaan yang  jauh lebih dalam, bukan hanya sebatas untuk mengungkap realitas permukan. 

Jika kita sudah terbiasa  berusaha  menghubungi pihak tertentu, termasuk pihak lain yang tidak terlibat secara personal, untuk mengetahui perspektif mereka atau pengalamannya, maka skala kompetensi kita adalah empat (4). Ini semua kita lakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, lebih kaya perspektif dan lebih akurat.

Jika kita sudah terbiasa melakukan penelitian atau usaha tertentu yang sistematis selama periode waktu yang terbatas untuk memperoleh data atau umpan balik yang kita butuhkan, maka skala kita adalah lima (5). Misalnya saja kita melakuakn riset formal lewat suratkabar, majalah, atau media lainnya.

Jika kita  sudah menggunakan cara yang kita temukan dalam mengerjakan sesuatu berdasarkan informasi yang kita peroleh, maka skala kita di sini adalah enam (6). Kita  telah memiliki prosedur tersendiri, berdasarkan pengalaman dan pengetahuan, dalam mengumpulkan berbagai jenis informasi

Jika kita sudah biasa dan bisa melibatkan pihak lain, termasuk melibatkan orang-orang yang secara normal tidak umum dilibatkan, untuk mendapatkan informasi yang berguna buat kita demi kegunaan jangka pendek dan jangka panjang, maka skala kita di sini adalah tujuh (7).

Nah, menurut hemat saya, mungkin ada yang sependapat dengan saya, bahwa angka-angka di atas bukanlah angka mutlak yang harus kita pedomani ”secara hidup-mati”. Angka-angka di atas adalah angka petunjuk (abstractive scale) yang barangkali akan berguna untuk mengukur kompetensi kita sendiri.

Sebagai contoh katakanlah kita mendapatkan tugas dari kantor untuk sebuah pekerjaan yang belum ada referensi pengalamannya. Kita tidak tahu kepada siapa pekerjaan ini perlu didiskusikan dan kantor pun tidak punya kontak orang yang kita butuhkan itu. Jika kita langsung seketika itu mengatakan tidak sanggup, padahal kita belum melakukan pencarian informasi apapun, maka skala kompetensi kita di sini perlu ditingkatkan. Jangan sampai kita sudah merasa benar dengan mengambil keputusan itu.

Memang itu hak kita juga. Hanya saja, bila konteksnya adalah pengembangan diri, biasanya keputusan demikian itulah yang menghambat keinginan kita. Akan lebih baik kalau tugas semacam itu kita terima sebagai tantangan baru. Biasanya, sampai pun kita gagal, kita tetap mendapatkan sesuatu yang itu kita butuhkan, entah nanti atau kapan saja. Lebih-lebih kalau itu berhasil.



Beberapa Masukan
Bagi yang tetap ingin meningkatkan kompetensi di atas, mungkin langkah-langkah di bawah ini bisa dijadikan acuan. Tapi, sebelum kita masuk ke langkah-langkah itu, satu hal yang paling mendasar di sini adalah mengetahui diri sendiri (self knowledge). Mengetahui di sini mencakup antara lain: a) apa yang kita lakukan hari ini dan apa yang akan kita lakukan di hari depan, b) sosok seperti seperti apa yang kita inginkan untuk "menjadi" (becoming) di hari depan dan sudah sampai mana langkah kita hari ini.

Bahasa learning-nya, kita perlu mengetahui seakurat mungkin "the real self" dan "the ideal self". Atau juga bisa disebut pengetahuan tentang visi diri sendiri (personal vision). Kenapa ini menjadi paling penting? Alasannya, kalau kita tidak tahu diri sendiri, kita pun akan tidak tahu informasi yang penting dan informasi yang tidak penting. Kita kurang sensitif membedakan informasi yang relevan dan informasi yang tidak relevan.

Kalau sudah begini, kemungkinannya hanya ada dua. Pertama, kita akan terbebani oleh banyaknya  informasi (overload) karena kita beranggapan semua informasi itu penting. Saking banyaknya informasi yang tidak bisa kita seleksi, akibatnya kita pusing sendiri. Kemungkinan kedua, kita menjadi orang yang masa bodoh terhadap informasi karena kita tidak tahu apa yang benar-benar penting buat kita.

Ini akan beda dengan ketika kita sudah memiliki personal vision yang jelas (clear) di pikiran kita. Pencarian informasi yang kita lakukan akan lebih mendekati efektif, efisien dan lebih mendekati akurat. Kita pun akan mudah mengetahui informasi utama dan informasi yang relevan namun bukan yang utama.

Nah, jika kita sudah memiliki personal vision yang jelas, langkah-langkah yang perlu kita lakukan itu antara lain:

Pertama, mengikuti perkembangan informasi yang ada di media. Tentu informasi di sini sudah kita pilah berdasarkan mana yang utama dan mana yang relevan menurut keadaan kita atau personal vision kita. Media ini bisa media cetak, media elektronik atau media online (internet). 

Ada siasat yang sudah dilakukan kenalan saya bertahun-tahun dan itu efektif. Ini juga bisa kita tiru kalau cocok. Kenalan saya tidak membaca seluruh media untuk mendapatkan informasi. Tidak pula menonton berita televisi setiap jam. Tidak pula browsing internet setiap saat. Demi efektivitas, efisiensi dan relevansi, kenalan saya ini memilih media berdasarkan hari menurut catatannya dan kegunaannya. Misalnya, dia membaca koran anu pada hari Senin, membaca majalah anu pada akhir bulan, membuka situs anu pada hari Minggu, dan seterusnya.

Kedua, mendekati terminal informasi. Terminal informasi ini bentuknya bisa asosiasi, lembaga, komunitas, atau lainnya. Ini biasanya lebih up-to-date, lebih efektif, lebih dalam, dan lebih spesifik. Masuk ke milis tertentu juga bisa kita jadikan pilihan. Kalau kita menelusuri informasi lewat media, biasanya ini masih makro dan masih umum. Tapi bila kita menelusurinya melalui terminal informasi yang saya maksudkan itu, ini sudah mengarah ke hal-hal yang spesifik dan terkadang bisa memberikan informasi yang tidak terpublikasikan di media.

Ketiga, mengorek informasi dari orang (people). Untuk bisa mengorek informasi, ini bisa kita lakukan dengan cara langsung kepada yang bersangkutan (sumber informasi) atau melalui orang lain yang punya akses dengan sumber informasi. Dua-duanya bisa kita gunakan untuk keadaan yang berbeda-beda. Sekedar sebagai acuan, orang yang bisa kita jadikan sumber informasi (sumber pertama atau sumber kedua), itu bisa mengacu pada idenya Verderber (1983) tentang pola hubungan. Ini antara lain:

-         Orang yang hanya kenal biasa dengan kita (Acquaintance relationship)
-         Orang yang kita kenal berdasarkan peranan, pekerjaan, atau profesi (Role relationship)
-         Orang yang kita kenal berdasarkan hubungan pertemanan (Friendship), teman sekolah, teman satu daerah, teman satu kampus, dan lain-lain.
-         Orang yang kita kenal berdasarkan ikatan emosi (Intimate relationship), keluarga dekat, pacar, pasangan, dan lain-lain.

Nah, seperti yang sudah kita bahas sebelum-sebelumnya, dalam mengorek informasi dari orang, kita perlu mematuhi aturan kemanusian yang sudah berlaku umum di dunia ini. Aturan itu adalah: a) bertanya secara proporsional, b) cara bertanya yang menggugah semangat orang lain untuk memberikan jawaban, dan c) mendengarkan. Ini bisa dilakukan dalam bentuk dialog eksploratif, bertukar pikiran, diskusi ringan, dan lain-lain.

Di atas semua yang sudah kita bahas di sini, yang paling penting adalah menggunakan informasi yang sudah kita dapatkan untuk perbaikan diri atau untuk mengakuratkan perencanaan dan keputusan di tempat kerja. Semoga bermanfaat.

(dikutip dari: Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 07 Agustus 2007
)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates