Mengenai Saya

Foto saya
Amlapura, Bali, Indonesia
Pegawai Pemda Karangasem

Senin, 02 Mei 2011

BapakKu, WayahKu,…. I Gede Putu Dirga.

Kiprah, 75 Tahun Bergaul dengan kehidupan, saat ini 1 Mei 2011


            Alkisah pada 1 Mei tahun 1936, di Kabupaten Karangasem, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi Nama I Gede Putu Dirga, dari rahim seorang ibu yang bernama Ni Wayan Samah, berasal dari sebuah Desa yang berada di sebelah timur Kota amlapura, yaitu Desa Seraya, yang merupakan Buah perkawinannya dengan pria yang bertugas sebagai juru tulis Kerajaan Karangasem yang berasal dari Desa Butus, yang bernama I Wayan Putu....
        Anak itu adalah anak ke 5 (lima) yang lahir dari rahim ibu Samah, dimana Kakak-kakaknya adalah, pertama bernama I Wayan Kompyang, kedua, I Made, Ketiga Ni Nyoman Riba dan  Ke empat Ni Ketut Santi....
Selanjutnya dirga menjalani hidup seperti kebanyakan masyarakat yang berada di lingkungannya, tepatnya bergaul dilingkungan pekandelan, dan di lingkungan kerajaan,... Yang sangat menarik,... dari kecil.. seorang dirga telah menunjukkan bakat/talenta dibidang ilmu pengetahuan,.. hal ini disadari oleh kakak tertuanya I Wayan Kompyang,...
Hingga sekitar tahun 1952, Dirga disekolahkan ke Badung, dan selanjutnya meneruskan hingga ke perguruan tinggi, tepatnya di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang, (sebetulnya banyak kisah yang di alaminya waktu pindah dari Karangasem ke Badung, lebih-lebih ketika memasuki masa kuliah di malang)...
        Dan tamat sarjana muda di IKIP Malang, sebetulnya Dirga sudah mendapatkan Surat Keputusan sebagai PNS di Pulau Sumatra, namun ditolaknya,.. dengan alasan (....????), dan akhirnya bertemu dengan Bapak I Gusti Made Tamba, yang waktu itu adalah Ketua Yayasan Perguruan Rakyat Saraswati Badung,......
Dan suatu kebetulan juga, bahwa saat itu Pemerintah RI mengharapkan, bahwa Kepala Sekolah, minimal menyandang gelar Sarjana Muda, dimana Dirga saat itu adalah Sarjana Muda Baru, langsung menerima tawaran pak Tamba...
Sangat menakjubkan, saat itu adalah Tahun 1960, artinya usia Dirga adalah baru 24 (Duapuluh Empat) Tahun,... HEBAT....
        Sebagai seorang guru/pendidik, dirga melaksanakan berbagai kegiatan yang terkait dengan pendidikan itu sendiri, mulai dari pendidikan di dalam kelas sampai pendidikan diluar kelas (Les),... NAH.... Ketika inilah pada waktu memberikan les privat,  Dirga Ketemu dengan seorang murid wanitanya yang sangat cantik, dengan ’JIT TENGGING’nya dan suaranya yang sangat ’MERDU’, yang ternyata bernama Ni Made Yuliasih, dari Singaraja tepatnya di belahan utara pulau Bali, yang merupakan anak dari I Nyoman Tirta dan Ni Putu Ayu.
Singkat cerita, terjadilah hubungan yang lebih sakral hingga ke pelaminan, dan membuahkan hasil pertamanya yaitu tepatnya tanggal 29 September tahun 1963, terlahir seorang bayi laki-laki dari rahim yuliasih, yang diberinama Gde Ngurah Yudiantara, dengan berat sekitar 2,6 kg, tapi kondisinya sehat. Namun saat kelahiran sang bayi dirga tidak ada ditempat mendampingi yuliasih, karena diminta untuk mencari ’Tirta’ ke Karangasem terkait dengan kandungannya....
        Saat itu keluarga kecil Dirga tinggal dengan mertuanya, I Nyoman Tirta, tepatnya di daerah Kereneng yaitu Jalan Tanjung No. D 48, tepat di ujung timur perbatasan dengan Jalan Jempiring, namun karena tekad seorang dari bumi lahar, dirga akhirnya mencari tempat kost, di daerah Banjar baler Griya, karena waktu itu juga (mertuanya) Tirta pindah ke Singaraja.
        Selanjutnya tahun 1966 tanggal 25 Maret, lahir bayi perempuan dari rahim yuliasih, dengan rambut yang begitu lebat, yang diberinama ’I SEBENG’ Ni Made Yudiastari,.. tapi cantik sekali,.. semua senang,... dia lahir di RSU AD, di jalan Jendral Soedirman, dan selanjutnya di tahun 1968, tanggal 2 Januari lahir lagi seorang bayi perempuan, yang sangat kalem, tangisannya sebentar, tapi sehat, yang diberi nama ’I KEMBUNG’ Ni Nyoman Yudiarini, lahir atas bantuan ibu bidan ’bu warna’ di jalan Imambonjol, Denpasar.
        Kemudian Tahun 1970, tanggal 11 Maret lahirlah seorang bayi laki-laki yang disebut ’I KANCRUNG’ I Ketut Ngurah Yudiatmaja, yang sangat cengeng, ngga suka bercanda, sangat serius dalam segala hal, dan pada tahun 1973, tepatnya tanggal 20 Agustus lahir lagi seorang bayi laki-laki yang di panggil ’I BONENG’ I  Gede Putu Ngurah Yudiatmika.
Dan semua yang terlahir itu sudah mendapatkan pasangan masing-masing, dan hasilnya;
1.    Dodek (KENYAT), Gde Ngurah Yudiantara, menikah dengan Ni Putu Lastiawati tahun 1991, tanggal 19 September, menghasilkan;
    I Gede Ngurah Tyantara, lahir tanggal 1  Maret 1992, Ni    Made Ayu     Tyantarani, Lahir Tanggal 8 September tahun     1995 terakhir I         Nyoman Ngurah Tyantarama,      lahir tanggal 4 Juni Tahun 1997.
2.   I SEBENG, Ni Made Yudiastari, menikah dengan I Nyoman Yudha Astana tahun 1991, tanggal 1 Mei, menghasilkan;  
Putu Yudha Asteria Putri, lahir tanggal 14 September 1992,        Made Yudha  Asrithari Dewi, lahir tanggal 13 Mei 1995, Nyoman Yudha Astri Ayu Widyari, lahir tanggal 25 Oktober   1997
3.   I KEMBUNG, Ni Nyoman Yudiarini, menikah dengan Komang Gede Narendra,  sekitar bulan April tahun 1991 menghasilkan;
        Mutiara Nandya Putri Narendra Anom, lahir tanggal 27       Maret 1992,  Jelita Nandya Putri Narendra Anom, lahir   tanggal; 28 November 1996, Bagus Nandya Putra Narendra Anom, lahir tanggal 21 September 2000

4.   I KANCRUNG, I Ketut Ngurah Yudiatmaja, menikah dengan Made Ani Yuli Susanti, tahun 2000, tanggal 13 Maret, menghasilkan;
        Made Ayu Kurniati Atmaja, lahir tanggal 1 September 2002,       Nyoman Ngurah Bagus Kurniarta Atmaja, lahir tanggal 19 November    2004
5.   I BONENG, I Gede Putu Ngurah Yudiatmika, menikah dengan Ayu Ratna Dewi Ganitri, tahun 2002, tanggal 21 februari, menghasilkan;
    Putu Ayu Elyana Diatmika Dewi, lahir tanggal 17 Juli 2002, Made        Ayu Febrina Diatmika Dewi, lahir tanggal 12 Februari 2007.

Inilah hasil regenerasi bapak gede putu dirga....... bahagialah kita semua.....

Rabu, 20 April 2011

Dodek Slide Slideshow

Dodek Slide Slideshow: "TripAdvisor™ TripWow ★ Dodek Slide Slideshow ★ to Karangasem and Karangasem (near Candidasa). Stunning free travel slideshows on TripAdvisor"

Selasa, 19 April 2011

MEMAKNAI HARKITNAS DARI PERSPEKTIF PEMBINAAN KARAKTER BANGSA.


MEMAKNAI HARKITNAS DARI PERSPEKTIF
PEMBINAAN KARAKTER BANGSA.

Sejarah tidak pernah berdiri sendiri, tetapi mempunyai hubungan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda yang telah berlangsung selama 3 ½ abad. Mempelajari sejarah selalu bermanfaat bagi yang memahaminya, karena dengan mempelajari sejarah dapat diambil peristiwa-peristiwa pada masa sebelumnya untuk digunakan sebagai pedoman pada masa yang akan datang, diambil segi positipnya dan ditinggalkan segi negatipnya. Sejarah dapat mendorong untuk mencapai cita-cita dan merupakan kebanggaan bagi bangsa itu sendiri.

Masa Sebelum Budi Utomo
Kejayaan Bangsa Indonesia dapat dibuktikan dengan berjayanya pada masa silam Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram dll. Runtuhnya kerajaan itu adalah karena terjadinya perpecahan dari dalam pemerintahan itu sendiri. Pada abad ke 16 orang Balanda datang ke Indonesia, pada mulanya mereka disambut dengan ramah tamah oleh bangsa Indonesia yang dikenal dengan keramah tamahannya, karena Balanda pada waktu itu belum menunjukkan sifat aslinya yang ingin menjajah bangsa Indonesia. Lama kelamaan bangsa Belanda menunjukkan sifat aslinya yaitu ingin menjajah bangsa Indonesia.
Mereka mulai menguasai tanah-tanah rakyat dan kerajaan-kerajaan diadu domba sehingga terjadi persaingan-persaingan diantara bangsa Indonesia sendiri, persaingan ini dimanfaatkan oleh bangsa Belanda untuk mengambil keuntungan. Walaupun demikian bangsa Belanda bukan tidak mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia, terbukti dengan adanya perlawanan di Aceh oleh rakyat Aceh,yang dipimpin oleh Panglima Polim, Cut Nyak Dien, Cut Mutia , Tengku Umar dll,di Sumatra Barat oleh Imam Bonjol, ditanah Batak oleh Sisinga Mangaraja, di Pulau jawa oleh Pangeran Diponegoro,Sultan Ageng Tirtayasa, Untung Surapati dll.di Maluku oleh Pattimura di Sulawesi oleh Hasanuddin, di Kalimantan oleh Pengeran Antasari dan banyak lagi perjuangan rakyat pada waktu itu yang tidak dapat tercatat oleh sejarah, terutama perlawanan-perlawanan kecil dan perjuangan perjuangan kecil lainnya, namun perlawanan itu dapat dipatahkan oleh Belanda, karena perlawanan bangsa Indonesia pada waktu itu masih bersifat kedaerahan dan perlawanan yang satu dengan yang lainnya masih belum terorganisir, tujuan perjuangannya pun berbeda-beda, persenjataan yang dimiliki kalah modern, Belanda sudah menggunakan senjata api,sedangkan perjuangan bangsa Indonesia pada waktu itu masih senjata tradisionil,seperti rencong,keris, tombak,panah,pedang ,golok, badik, Mandau dan lain-lain senjata daerah.

Budi Utomo Menjawab Tantangan Jaman
Pahit getirnya perjuangan bangsa Indonesia jauh sebelum 1908 mencatat begitu banyak kenangan berharga dan begitu banyak kenangan yang mengharukan, semua ini membangkitkan kebanggaan pada kita semua selaku generasi penerus dan tempat kita bercermin, tentang apa yang akan kita perbuat pada masa yang akan datang.
Dalam kaitan itulah kita perlu merenungkan kembali makna hari Kebangkitan Nasional. Awal kebangkitan Nasional bukanlah terjadi dengan sendirinya tetapi berawal dari rasa keprihatinan terhadap kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan, ini disebabkan dari politik kolonial Belanda pada waktu itu, mereka banyak mengambil keuntungan dari bumi pertiwi ini, Belanda menelantarkan pendidikan Bangsa Indonesia, rakyat dibiarkan bodoh, melarat dan menderita.
Awal kebangkitan Nasional disebabkan beberapa factor, baik dari dalam negeri maupun luar Negeri, antara lain factor dalam negeri :
1.      Makin banyaknya/makin tingginya kesadaran ingin bersatu.
2.      Makin mengingkatnya semangat bangsa Indonesia ingin merdeka.
3.      Makin banyaknya orang pintar dan terpelajar di Indonesia.
Faktor yang datang dari luar negeri adalah kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905, adalah salah satu pendorong yang menimbulkan semangat bahwa bangsa kulit kuning, bangsa Asia dapat mengalahkan bangsa kulit putih (Eropa).
Sebagai jawaban atas rasa keprihatinan tersebut, muncullah gagasan dan tindakan dari Dr. Wahidin Sudirohusodo untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dari belenggu kolonial Belanda. Dr.Wahidin S memanfaatkan peluang ini dari jalur pendidikan sebagai sarana yang tepat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menumbuhkan rasa Nasionalisme bangsa Indonesia. Dr Wahidin S terjun ketengah-tengah masyarakat untuk membangkitkan golongan priyayi agar bersedia mengulurkan tangan, memberi pertolongan kepada rakyat untuk meningkatkan kecerdasannya. Dr. Wahidin S dengan biaya sendiri mengadakan perjalanan keliling Jawa untuk mempropagandakan pendirian berdirinya Studifound, ini dilakukan pada tahun 1906-1907.
Pada tanggal 20 Mei 1908, atas prakarsa Dr. Wahidin S dan para Pemuda Stovia, seperti Sutomo, Gunawan, Suradji dan Suwardi Suryaningrat mengadakan rapat pertama di Jakarta, dan berhasil mendirikan perkumpulan yang diberi nama BOEDI OETOMO yang berarti Kebaikan yang diutamakan.
Disinilah titik awal berdirinya perkumpulan-perkumpulan yang menjurus kepada sifat Nasionalisme dan Patriotisme, karena setelah berdirinya Boedi Oetomo maka bermunculanlah perkumpulan-perkumpulan dan pergerakan yang bersifat luas antara lain, Serikat Dagang Islam tahun 1909, Indische Party tahun 1913. Muhammadiyah tahun 1912, Nahdatul Ulama tahun 1926, dan berdiri perkumpula pemuda diluar Jawa pada tahun 1918 dan menamakan diri Young Java,Young Sumatra,Young Ambon,Young Pasundan,Young Batak, Pemuda Betawia dll.

Sumpah Pemuda Ke Proklamasi
Para pemuda inilah yang mengadakan kongres pemuda pertama tahun 1926  yang menghasilkan perlunya mencanangkan suatu organisasi pemuda tingkat Nasional. Dan atas usul perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) sebagai organisasi kemahasiswaan pertama pada tanggal 26-28 Oktober 1928 diadakan kongres pemuda ke dua. Setelah mereka mengadakan pembahasan, mereka sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika bangsa Indonesia ingin merdeka, bangsa Indonesia harus bersatu.
Untuk itu mereka bersumpah yang terkenal dengan nama SUMPAH PEMUDA yang diikrarkan pada akhir kongres yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928 yang berbunyi : ” Kami putra dan putrid Indonesia mengaku:
ü      Bertanah air satu tanah Indonesia
ü      Berbangsa satu bangsa Indonesia
ü      Berbahasa satu bahasa Indonesia
Dan ternyata sumpah pemuda itu mendapat sambutan yang sangat positip dari segenap lapisan masyarakat, terutama dari golongan intelektual dan kaum wanita, dimana pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta diadakan kongres Perempuan pertama yang melahirkan organisasi wanita, dan hari pembukaan kongres itu ditetapkan sebagai hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember. Sebagai pengaruh dari sumpah pemuda itulah yang menimbulkan motifasi semangat untuk merdeka dan lepas dari belenggu penjajahan Belanda.

Tokoh Pemuda Bermunculan
Sejak itu pulalah timbul tokoh-tokoh pemuda antara lain, Mr.Moh.Yamin, Drs. Moh.Hatta, Sutan Syahrir, Ir Soekarno, Ali Sostroamidjojo, Mr.Sjarifuddin, Nasir Datuk Pamuntjak , Moh.Natsir, Mr.Moh.Room dll.
Kolonial Belanda mulai menangkapi pemimpin-pemimpin organisasi kepemudaan itu yang dinilai vocal antara lain. Ir.Soekarno. Drs.Moh.Hatta, Sutan Syahrir, Dr.Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantoro dan banyak lagi pemimpin organisasi yang ditangkapi, dibuang dan diasingkasn dari rakyatnya. Akan tetapi semangat untuk merdeka tidak pernah padam dan malah bertambah subur berkat sumpah pemuda itu.  Pada gilirannya kelak mereka-mereka inilah yang memberi nafas, jiwa dan semangat untuk mencetuskan proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tampak mewarnai kehidupan social, badaya, politik dan bahkan ekonomi bangsa Indonesia. Sehingga pada periode reformasi sekarang ini diharapkan nafas, jiwa dan semangat para pendahulu kita itu juga turut memberi corak pada tata kehidupan kita sebagai bangsa yang berdaulat. Yang kita hadapi sekarang bukan lagi kolonial Belanda, tetapi tantangan kelanjutan dari pembangunan Nasional menuju masyarakat adil dan sejahtera yang memerlukan watak Nasionalisme dan patriotisme juga guna memperkuat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya, maka perhatian dan penghormatan pada para pahlawan juga telah menjadi tradisi yang hidup pada bangsa besar Indonesia. Bahkan dari waktu ke waktu lingkup kepahlawanan ini pun telah diperluas. Ada pahlawan nasional, ada pahlawan kemerdekaan, ada pula pahlawan Revolusi. Penghargaan kepada para pahlawan bukanlah dalam bentuk pengkultusan individu tertentu, tetapi wujud rasa hormat kepada individu yang telah memperlihatkan pengabdian, pengorbanan, serta jasa tanpa pamrih bagi kejayaan nusa dan bangsa yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan berbagai aktifitas pembangunan yang didasari oleh semangat dan karakter kepahlawanan. Esensi dari karakter kepahlawanan adalah kerelaan untuk berbuat sesuatu yang ditujukan untuk mencapai cita-cita besar bangsanya diiringi dengan kesediaan untuk mempertaruhkan jiwa dan raga.
Karakter seperti itulah yang menjadi parameter keberhasilan bangsa Indonesia di masa perjuangan fisik. Dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-64 ini, makalah ini akan mengulas kembali pemaknaan kemerdekaan tersebut dari perspektif pembinaan karakter bangsa, khususnya dikaitkan dengan relevansi dan aktualisasi karakter kepahlawanan di masa sekarang ini.

Karakter Bangsa Dan Mengisi Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan RI yang dikumandangkan ke seluruh dunia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebuah produk dari sejumlah konstituen perjuangan yang sangat lengkap. Ada perjuangan yang bersifat politis, yakni melalui pendirian sejumlah partai, ada perjuangan yang bersifat konseptual yakni berbagai aktifitas intelektual yang melahirkan berbagai konsepsi yang di kemudian hari menjadi ideologi bangsa dan ada pula perjuangan yang bersifat fisik yaitu melalui berbagai konflik bersenjata yang telah merenggut ribuan nyawa pahlawan kita. Kumpulan konstituen perjuangan itu bersinergi dengan baik dan dengan kohesivitas yang tinggi, yang pada akhirnya bermuara pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Harus diakui bahwa pola sinergi dari berbagai konstituen yang beraneka ragam tersebut hanya dapat dikonvergensikan melalui suatu kerja keras dari individu dan sekelompok masyarakat dengan karakter dan semangat juang yang tinggi. Menterpadukan berbagai konstituen perjuangan yang sangat kompleks tersebut untuk kemudian menjadi sebuah produk yang koheren dan produktif, yaitu kemerdekaan bagi suatu bangsa adalah sebuah upaya yang sangat luar biasa dan hanya mungkin dilakukan oleh manusia-manusia dengan karakter unggul.
Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa para pendiri bangsa ini adalah generasi manusia Indonesia dengan karakter kepahlawanan yang unggul, yang sanggup merancang skenario masa depan bangsanya, menuju bangsa yang mandiri dan bermartabat.  Gagasan pembangunan karakter bangsa unggul telah ada semenjak diproklamirkannya republik ini pada tanggal 17 Agustus 1945. Pimpinan nasional kita yang pertama yakni Bung Karno telah pernah menyatakan perlunya nation and character buildings. Walaupun pernyataan tersebut dalam konteks politik, namun secara eksplisit mengandung arti bahwa pembangunan Indonesia tidak cukup hanya dengan membangun fisik akan tetapi harus termasuk membangun karakter dan budaya bangsa. Beberapa tokoh nasional bangsa ini seperti Ki Hadjar Dewantoro juga menyebutkan tentang perlunya character building sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa.
Karakter suatu bangsa berperan besar dalam mempertahankan eksistensi dan kemerdekaannya. Cukup banyak contoh empiris yang membuktikan bahwa karakter bangsa yang kuat berperan besar dalam mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan atau progress pembangunan. Contoh pertama adalah Cina. Negeri ini bisa dikatakan tidak lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia di era tahun 70 an. Namun dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun, dengan disiplin baja dan kerja keras, Cina telah berhasil bangkit menggerakkan mesin produksi nasionalnya. Budaya disiplin Cina tercermin dari berhasilnya negeri ini menekan masalah korupsi di kalangan birokrasinya secara substansial. Sedangkan budaya kerja keras tampak nyata dari semangat rakyat di negeri ini untuk bersedia bekerja selama 7 hari dalam seminggu demi mencapai keunggulan dan kejayaan negerinya. Saat ini Cina tidak saja menjadi negara pengekspor terbesar, akan tetapi bahkan lebih dari itu, produk ekspor Cina semakin banyak yang memiliki kandungan teknologi menengah dan teknologi tinggi.
Contoh lain adalah India. Negara ini sekarang telah berhasil menjadi salah satu negara yang sanggup berswasembada pangan. Dengan jumlah penduduk kedua terbanyak di dunia, maka mencapai posisi kesanggupan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri merupakan prestasi yang membanggakan. Keberhasilan ini didorong oleh karakter kuat bangsa India untuk maju dan membangun dengan kemampuan sendiri atau dikenal dengan istilah budaya swadeshi. Prinsip inilah yang telah membuat India tumbuh menjadi negara paling mandiri di Asia saat ini. Berbagai kebutuhan hidup mulai dari yang paling sederhana seperti sabun mandi hingga mobil, mesin-mesin industri, kapal laut bahkan pesawat terbang dibuat sendiri. Meskipun produk-produk tersebut kualitasnya rendah kalau dibandingkan dengan produk Jepang dan Barat akan tetapi semangat swadeshi telah menjadikan ketergantungan India terhadap produk impor sangat rendah. Ekonomi India bukanlah yang terbaik di Asia, namun hutang luar negeri India nyaris tidak ada.
Karakter bangsa-bangsa besar lainnya juga hampir sama. Intinya selalu ada kombinasi antara semangat juang, disiplin dan kerja keras. Karakter bangsa Jerman misalnya, adalah ’arbeit’ atau kerja keras. Artinya bagi bangsa Jerman, sukses diperoleh melalui suatu kerja keras dan tanpa lelah. ’Budaya instan’ tidak ada dalam kamus bangsa Jerman. Dengan arbeit inilah bangsa Jerman, yang pernah kalah dalam dua kali perang dunia, masih sanggup tampil kembali sebagai salah satu mesin ekonomi dan teknologi terkuat, termaju dan termodern didunia.

Pembinaan Karakter Bangsa Di Era Globalisasi
Makna kemerdekaan di era globalisasi bukanlah berarti suatu kemandirian total. Hakekat kemerdekaan di era globalisasi adalah suatu kapasitas yang mandiri yang dimiliki oleh suatu bangsa dalam membina keterbukaan dengan bangsa-bangsa lain didunia, berdasarkan prinsip saling melengkapi atau komplementasi, yang saling menguntungkan. Untuk dapat menjalankan prinsip komplementasi yang saling menguntungkan tersebut, maka suatu bangsa dituntut untuk memiliki daya saing atau competitiveness. Parameter daya saing inilah yang selanjutnya berperan penting dalam menentukan setiap dinamika kehidupan berbangsa.
Sejalan dengan hal itu, maka kemandirian dan martabat suatu bangsa di era globalisasi akan sangat ditentukan oleh kapasitas bangsa tersebut dalam membina dan mengembangkan suatu pranata ekonomi dan sosial-politik yang menunjang peningkatan daya saing secara terus menerus. Bangsa yang berhasil di era milenium ini adalah bangsa dengan kapasitas daya saing tinggi, yang rakyatnya memiliki kapasitas berpikir yang cerdas, kemampuan imajinasi dan kreasi yang tak terbatas dan mental yang robust atau tahan banting. Bangsa dengan kualitas yang seperti itulah yang akan sanggup berevolusi di era milenium ini dan di masa depan.
Sebaliknya tanpa adanya kapasitas daya saing yang tinggi, maka bangsa tersebut tidak akan mampu memberikan komplementasi yang berarti pada sistem sivilisasi global dan memberikan peran pada sektor-sektor ekonomi yang bernilai tambah tinggi. Bangsa yang demikian, walaupun sarat dengan sumber daya alam akan tergusur dan hanya mampu mengembangkan sektor ekonomi dengan nilai tambah rendah, lingkungan yang semakin rusak dan secara budaya akan terjajah.
Tanpa adanya upaya dan komitmen bagi suatu bangsa untuk meningkatkan daya saingnya, maka kita sangat berisiko menjadi bangsa yang termarginalkan di era kompetisi global. Lemahnya daya saing suatu bangsa akan mengakibatkan rentannya kemandirian bangsa tersebut karena akan terjebak pada dua perangkap globalisasi atau globalisation trap yaitu perangkap teknologi atau technology trap dan perangkap budaya atau culture trap. Kedua perangkap ini umumnya dengan cepat dapat dialami oleh suatu bangsa dengan karakter yang lemah. Sebagai misal perangkap teknologi akan menjebak sebuah bangsa untuk membangun industri yang hanya berbasiskan pada lisensi atau re-alokasi pabrik tanpa adanya pembinaan kapabilitas teknologi, sehingga bangsa tersebut, meskipun tampaknya dapat memfabrikasi berbagai produk, namun esensinya proses fabrikasi itu sebenarnya hanya dilakukan pada tahapan yang relatif tidak atau kurang penting. Adapun tahapan dari proses yang lebih penting (atau sangat penting) dari proses fabrikasi tersebut masih dikuasai oleh negara asing. Sehingga pada akhirnya bangsa yang demikian aktifitas industrinya akan sangat bergantung dengan entitas asing.
Adapun perangkap budaya umumnya adalah dalam bentuk intervensi tata nilai unsur-unsur asing kepada budaya lokal suatu bangsa. Hal ini sangat dimungkinkan sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi serta transportasi yang menjadikan interaksi antar manusia menjadi semakin intensif. Teknologi komputer-jaringan atau internet saat ini telah menjadikan transaksi informasi menjadi sangat mudah. Namun, terkadang amalgamasi atau penggabungan antara tata nilai budaya yang berbeda malah menghasilkan jenis budaya baru yang tidak relevan dengan adat istiadat dasar dari bangsa tersebut. Bahkan sering akhirnya bersifat counter-productive pada pembangunan bangsa yang bersangkutan. Dalam kasus Indonesia, misalnya intervensi budaya hedonistik dan materialis berpotensi untuk melunturkan nilai-nilai budaya dasar Indonesia yaitu kekeluargaan dan relijius.
Kedua perangkap yang diulas diatas, haruslah dijadikan sebagai tantangan yang perlu diwaspadai dalam membangun bangsa di era global. Unsur yang sangat penting dalam memperkuat jati diri bangsa dalam menghadapi kedua perangkap tersebut adalah terus menumbuhkembangkan karakter unggul yang dimiliki oleh bangsa ini dan telah dibuktikan aktualisasinya oleh para pendiri bangsa ketika memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sekarang ini setelah 64 tahun merdeka, harus diakui bahwa bangsa Indonesia telah mengalami berbagai dinamika proses transformasi karakter bangsa. Dalam kurun waktu tersebut telah cukup banyak dicapai berbagai hasil pembangunan walaupun harus diakui masih banyak beberapa kekurangan yang perlu ditingkatkan pencapaiannya khususnya terkait dengan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat.
Bangsa kita saat ini dihadapkan pada sejumlah paradoks terkait dengan pembangunan karakter bangsa. Di satu pihak, pembangunan bangsa ini telah mencatat sejumlah prestasi, seperti pertumbuhan ekonomi yang membaik dan hampir mencapai target 6% di tahun 2007 ini, kuota ekspor yang terus meningkat, cadangan devisa yang semakin besar dan jumlah penduduk miskin juga telah semakin berkurang. Namun di pihak lain, kita masih menghadapi sejumlah fenomena seperti kasus korupsi, saling memfitnah dalam kehidupan bernegara dan sejumlah ekses lain yang tidak mencerminkan sifat-sifat karakter unggul yang telah pernah dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini.
Oleh karena itu merombak tatanan suatu bangsa di era globalisasi tidak cukup hanya dengan menjadikan masyarakat bangsa tersebut berada dalam tatanan pola kehidupan demokratis yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya dan heterogenitas politik, akan tetapi di era knowledge based economy dituntut adanya hal yang lebih dari itu, yakni suatu tatanan masyarakat demokratis yang terus melakukan pembelajaran atau learning society dalam upaya untuk mencapai suatu peningkatan kapasitas pengetahuan yang kontinyu sehingga akan terbentuk suatu masyarakat madani yang berdaya saing atau competitive civil society. Inilah bentuk masyarakat yang mendukung untuk tercapainya kemandirian dan peningkatan martabat bangsa.
Makna kemerdekaan dari perspektif pembinaan karakter bangsa adalah ketika suatu bangsa sanggup membentuk masyarakat madani yang berdaya saing. Dan hal itu dapat dilakukan berdasarkan pada dua prinsip. Prinsip yang pertama adalah mengutamakan pemberdayaan karakter bangsa terutama kaum mudanya agar menjadi individu yang kreatif. Dan prinsip yang kedua adalah menciptakan suatu tatanan pembangunan nasional yang bersifat innovation-led development. Atau pembangunan yang berkarakter, yaitu pembangunan yang tidak sekedar mengutamakan aspek fisik belaka, akan tetapi juga menonjolkan aspek pembentukan tata nilai atau value creating sehingga akan memacu terjadinya stimulasi pembentukan karakter yang positif.

Mekanisme Institusional dan Pembinaan Karakter Bangsa
Salah satu contoh dimana bangsa ini masih memiliki karakter unggul adalah kenyataan bahwa sejumlah anak-anak didik kita meraih prestasi gemilang dengan menjadi juara dunia olimpiade fisika. Sebuah prestasi yang secara implisit memberikan arti penting bahwasanya bangsa Indonesia juga memiliki kemampuan pola pikir logic yang unggul dan setara dengan bangsa-bangsa besar di dunia. Catatan prestasi ini juga bukti empiris bahwasanya masih ada komponen bangsa yang tidak malas dan memiliki karakter kerja keras serta sikap bersaing untuk selalu menjadi yang terbaik di era kompetisi inovasi global atau global innovation race. Anak-anak muda kita yang berprestasi ini jelas merupakan produk institusional bidang pendidikan. Sehingga menjadi jelas bagi kita, bahwasanya untuk pembangunan karakter bangsa maka mekanisme institusional memiliki peran yang sangat penting.
Tanpa adanya mekanisme institusional yang kuat, maka akan berpotensi untuk gagalnya suatu induksi positif dari karakter bangsa yang baik, kepada kanal-kanal komponen bangsa lainnya, sehingga karakter positif tersebut tidak dapat di transmisikan ke seluruh denyut pembangunan.
Apabila kelemahan mekanisme institusional ini dibiarkan maka akan mengakibatkan erosi dari karakter positif bangsa menuju pada tata nilai yang tidak membangun atau counter-productive. Misalnya, lemahnya mekanisme institusional pada pembangunan karakter bangsa akan mempersulit adanya induksi mentalitas bersaing dari para juara olimpiade fisika kepada komponen bangsa lainnya, sehingga para juara olimpiade fisika ini malah mengalami reduksi kapasitas pengetahuan ketika berinteraksi dengan komponen bangsa lainnya.
Pendidikan sebagai mekanisme institusional yang akan mengakselerasi pembinaan karakter bangsa juga berfungsi sebagai arena untuk mencapai tiga hal prinsipil dalam pembinaan karakter bangsa yaitu:
Hal pertama adalah pendidikan sebagai arena untuk re-aktifasi sejumlah karakter luhur bangsa Indonesia. Secara historis bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki karakter kepahlawanan, nasionalisme, sifat heroik, semangat kerja keras serta berani menghadapi tantangan. Kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau adalah bukti keberhasilan kita membangun karakter yang mencetak tatanan masyarakat maju, berbudaya dan berpengaruh.
Bahkan sampai di era tahun 40-an dan tahun 50-an kita pernah bangga menjadi bangsa Indonesia. Dunia mencatat, bahwa di akhir tahun tahun 40-an, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang merdeka dengan perjuangan berat. Kemudian di tahun tahun 50-an kita pernah bangga sebagai bangsa yang menjadi pusat perhatian dunia ketika kita menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Sampai dengan tahun tahun 70-an dunia pendidikan tinggi kita masih bisa berbangga, karena menjadi tempat berguru dari sejumlah mahasiswa dan kaum intelektual mancanegara. Memang kita tidak boleh terlena dengan kejayaan masa lampau, akan tetapi menjadikannya sebagai dorongan untuk peningkatan motivasi dan semangat dalam menapak masa depan merupakan satu hal yang diperlukan dalam rangka memupuk mentalitas positif yang harus kita perjuangkan untuk dapat dibangkitkan kembali.
Hal kedua adalah pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus memobilisasi potensi domestik untuk peningkatan daya saing bangsa. Untuk yang kedua ini maka perkenankan saya menyampaikan dua karakter penting yakni karakter kompetitif dan karakter inovatif.  Karakter kompetitif memiliki esensi sebuah mentalitas dan watak yang mendorong adanya semangat belajar yang tinggi. Pembudayaan karakter ini akan mendorong minat untuk terus melakukan pembelajaran dalam memahami sekaligus mengatasi persoalan yang dihadapi. Karakter kompetitif adalah antagonis atau lawan dari budaya instan, karena karakter kompetitif akan mendorong adanya upaya perbaikan secara terus menerus dan bertahap ketika menghadapi persaingan yang semakin berat. Dalam kenyataannya, hanya dengan karakter kompetitiflah suatu bangsa dapat mempertahankan keunggulan daya saingnya. Bahkan di era knowledge based economy, dengan karakter kompetitiflah, suatu bangsa mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa yang merdeka.
Karakter inovatif adalah watak dan mentalitas yang selalu mendorong individu dalam melakukan inovasi-inovasi baru pada berbagai hal. Pada hakekatnya inovasi hanya dapat diciptakan setelah melalui serangkaian proses belajar secara kolektif, atau lazim dikenal dengan learning curve. Bangsa yang maju dan modern memiliki sejumlah learning curve yang dapat menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembangnya proses inovasi. Mentalitas inovasi tidak lepas dari proses belajar, termasuk belajar dari kesalahan dan kegagalan di masa lalu.
Hal ketiga adalah pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasikan kedua aspek diatas yakni re-aktifasi sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif serta kompetitif, ke dalam segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan program pembangunan. Internalisasi ini harus berupa suatu concerted efforts dari seluruh masyarakat dan pemerintah.
Maka membangun karakter bangsa untuk mencapai kemandirian, harus diarahkan pada perbaikan dan penyempurnaan mekanisme institusional. Untuk melakukan penyempurnaan mekanisme institusional ini, maka pemerintah telah memberikan perhatian besar dalam pengembangan dunia pendidikan nasional. Pendidikan yang baik dan produktif merupakan sarana paling efektif untuk membina dan menumbuhkembangkan karakter bangsa yang positif. Di samping juga peran pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesejahteraan masyarakat, yang dapat mengantarkan bangsa kita mencapai kemakmuran.
Kemerdekaan adalah proses pembebasan politik dari penjajahan asing. Pascakemerdekaan adalah masa berlanjutnya proses pembebasan sosial masyarakat dari kemiskinan, ketakpedulian, kebodohan, ketergantungan, dan berbagai bentuk kendala yang membatasi masyarakat dalam berinovasi, mengembangkan pilihan-pilihan sah, dan dalam menghadapi masa depan.
Kedua hal di atas menuntut adanya perjuangan dan kerja keras yang dijiwai oleh karakter unggul. Pengembangan karakter unggul sebuah bangsa adalah kombinasi positif dari berbagai upaya yang difasilitasi oleh suatu mekanisme institusional yang baik. Aktualisasi dari mekanisme institusional adalah memajukan dunia pendidikan, khususnya yang diarahkan pada pembinaan karakter bangsa. Pemerintah dalam kaitan ini telah memberikan komitmennya yang besar untuk memajukan dunia pendidikan nasional. Pembangunan pendidikan akan dilakukan secara seimbang yaitu dengan tetap mempertahankan aspek positif yang telah ada dan ditambahkan dengan yang baru, selanjutnya disinergikan dengan dinamika dan tuntutan global, khususnya dalam meningkatkan daya saing.
Memaknai kemerdekaan dari perspektif pembinaan karakter bangsa mengandung arti bahwasanya karakter bangsa tidak saja menentukan kemampuan sebuah bangsa untuk hidup mandiri, akan tetapi lebih dari itu, karakter bangsa bahkan menentukan jalan hidup dan nasib bangsa tersebut.
Sudah saatnya bangsa dan negara ini bangkit dari keterpurukan moral dan spiritual untuk kemudian menjadi bangsa yang berkarakter mulia. Krisis ekonomi boleh masih menjadi masalah yang belum terselesaikan, tetapi jangan biarkan bangsa ini pun terpuruk mentalitasnya. Boleh miskin secara materi, tetapi jangan miskin harga diri dan kehormatan. Jangan biarkan anak-anak bangsa ini menjadi pemulung dan tukang menengadahkan tangan ke pihak lain. Jangan jadi bangsa “inlander”, ujar Bung Karno dengan lantang ketika menghadapi arogansi politik kolonial.
Di sinilah tugas negara, kekuatan-kekuatan masyarakat, dan para elite wibawa di negeri tercinta ini. Bagaimana secara bersama-sama membangun kembali karakter bangsa Indonesia. Di masa lalu Sukarno pernah menggelorakan program nasional “nation and character building” dan gerakan berdikari.
Dari mana memulai? Pendidikan merupakan langkah paling sistematik dan berjangka panjang untuk menjadi media utama membangun karakter bangsa, yang dilakukan secara simultan. Pendidikan merupakan media internalisasi nilai-nilai kebangsaan yang paling strategis. Dimulai dari pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga pendidikan formal dengan langkah-langkah yang sistematik yang muatan utamanya nilai-nilai luhur kebangsaan.
Tanamkan kembali kebanggaan sebagai anak bangsa yang bermartabat, berdaulat, dan berkepribadian mulia. Pendidikan agama, akhlak atau budi pekerti, dan pendidikan kewargaan dirancang-bangun secara lebih sistematik dan komprehensif. Langkah lain ialah penanaman nilai-nilai kepribadian bangsa melalui pranata-pranata sosial di masyarakat dengan berbagai pendekatan yang bersifat kultural. Melalui kegiatan pengajian, karang taruna, remaja masjid, dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya ditanamkan nilai-nilai akhlak atau kepribadian bangsa yang utama.
Dimulai dari penanaman nilai soal-soal kecil untuk tidak jadi pemulung agar nanti setelah menjadi elite dan pejabat negara pun tidak menjadi pemulung harta negara. Galakkan kebiasaan memberi daripada menerima, juga menjauhkan diri dari sikap-sikap lembek, lemah pendirian, sikap plin-plan, dan mentalitas budak atau inlander. Didiklah anak bangsa di semua lini untuk menjauhkan diri dari sikap ajimumpung, korupsi, merusak alam, menjarah aset negara, dan larut dalam penyimpangan dan kehinaan. Ajari mereka untuk menjadi anak-anak bangsa yang berdiri tegak berhadapan dengan anak-anak bangsa yang lain, cerdas, dan memiliki kepribadian yang kokoh.  Peran dan keteladanan para pemimpin bangsa juga sangat penting dalam membangkitkan kesadaran untuk menjadi bangsa yang berkarakter kuat dan mulia. Para pemimpin bangsa dimulai dari pemimpin puncaknya hingga ke bawah dituntut untuk membangkitkan harga diri warga bangsa sekaligus memberikan contoh keteladanannya selaku elite bangsa yang memang bermartabat.
Menampilkan sosok yang berkarakter jauh lebih mahal ketimbang menampilkan citra buatan yang elok dipandang dan memukau budaya populer masyarakat. Para pemimpin atau elite bangsa dituntut untuk menjadi sosok yang jujur, bersih, kokoh pendirian dan berkepribadian kuat. Sebaliknya tidak menjadi elite pendusta, korup, aji mumpung, pengejar materi dan kemewahan, lembek, dan lemah karakter.

Ikhtisar
-          Berbagai kasus menunjukkan bangsa Indonesia telah mengalami pelemahan karakter mulia.
-          Bangsa Indonesia menjadi toleran pada penyimpangan dan mengalami disorientasi.
-          Pendidikan merupakan jalan penguatan kembali karakter bermartabat yang mengandung nilai-nilai luhur.
-          Keteladanan pemimpin bangsa penting dalam membangkitkan kesadaran untuk menjadi bangsa kuat dan mulia.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates